Libya saat ini terbelah menjadi dua pemerintahan dengan kekuatan militer yang berbeda. Di barat, Pemerintah Persatuan Nasional (GNA) di Tripoli berusaha mempertahankan legitimasi sebagai pemerintahan yang diakui dunia. Sementara di timur, Tentara Nasional Libya (LNA) yang dipimpin Khalifa Haftar beroperasi di bawah naungan parlemen Tobruk, meski tidak diakui secara internasional. Perpecahan ini membuat kekuatan militer Libya terfragmentasi, namun sekaligus memperlihatkan kontras yang mencolok antara kedua kubu.
GNA Tripoli bergantung pada jaringan milisi lokal yang tidak selalu memiliki struktur komando jelas. Meski mendapat pengakuan internasional, pasukan mereka kerap terlihat terpecah dan kurang terorganisir. Hal ini membuat efektivitas militernya bergantung pada dukungan asing, terutama dari Turki yang memasok drone Bayraktar TB2 dan sistem pertahanan modern.
Sebaliknya, LNA di Tobruk dipandang lebih profesional dan terstruktur. Haftar berhasil menyatukan berbagai milisi di Libya timur ke dalam kerangka militer yang lebih hierarkis. Dengan dukungan dari Mesir, Uni Emirat Arab, dan Rusia, kekuatan LNA berkembang pesat baik dari segi jumlah personel maupun alutsista. Dukungan Grup Wagner dan tentara bayaran dari Sudan serta Chad menambah bobot militer mereka.
Meski tidak diakui secara resmi, pemerintahan Tobruk justru mampu menciptakan struktur militer yang lebih stabil. Penguasaan mereka terhadap pangkalan udara di timur Libya memperkuat mobilitas pasukan. LNA juga memanfaatkan sistem logistik dan alutsista dengan lebih rapi, sehingga menjadikan mereka lebih tangguh dibandingkan GNA.
Tripoli tampak lemah bukan hanya di bidang militer, tetapi juga secara politik. Fragmentasi kekuasaan di ibu kota membuat keputusan strategis sering terhambat oleh tarik-menarik antar milisi. Ketergantungan pada sekutu asing semakin menegaskan bahwa GNA belum memiliki kemandirian penuh dalam mengelola kekuatan bersenjata.
Di sisi lain, kelemahan LNA juga nyata. Meski lebih terorganisir, ketergantungan mereka pada dukungan eksternal menimbulkan pertanyaan soal kedaulatan. Tanpa suplai senjata dan tentara bayaran asing, kemampuan LNA bisa menurun drastis. Hal ini menunjukkan bahwa kedua pemerintahan di Libya masih jauh dari kemandirian militer sejati.
Industri militer Libya pun nyaris tidak berkembang pasca runtuhnya rezim Gaddafi. Infrastruktur produksi senjata hancur dalam perang saudara, sementara embargo internasional memperparah keterbatasan mereka. Kedua kubu kini sepenuhnya bergantung pada suplai luar negeri untuk mempertahankan operasional militer.
Tripoli sebenarnya sempat memiliki peluang untuk membangun kembali industri pertahanan. Namun momentum itu hilang karena instabilitas politik dan kurangnya investasi. Sementara itu, LNA lebih fokus pada pengadaan langsung dari sekutu luar negeri ketimbang membangun basis produksi lokal.
Kedua pemerintahan ini juga memiliki keterbatasan di laut. Tidak ada tanda signifikan bahwa Libya menambah kapal kombatan berat, apalagi kapal selam. Sebagian besar armada laut warisan Gaddafi sudah tidak operasional atau hancur dalam konflik. Hal ini membuat potensi Libya sebagai kekuatan maritim regional tertahan.
Dari sisi udara, Tripoli lebih mengandalkan drone Turki, sementara Tobruk mendapat pasokan jet tempur tua dari era Soviet maupun Mirage F1 Prancis. LNA bahkan memiliki keunggulan dengan tambahan drone Wing Loong II dari UEA dan sistem pertahanan Pantsir-S1 buatan Rusia.
Jika menilik anggaran, perbedaan keduanya cukup jelas. GNA di Tripoli mengalokasikan anggaran militer dari dana negara yang terbatas akibat blokade minyak. Estimasi belanja mereka berkisar 1–1,5 miliar dolar AS per tahun, sebagian besar untuk gaji milisi dan biaya operasi.
Sementara itu, pemerintahan Tobruk mendapat keuntungan dari dukungan finansial sekutu asing. Belanja militer mereka diperkirakan mencapai 2–2,5 miliar dolar AS per tahun, meski angka ini termasuk kontribusi non-resmi dari UEA, Mesir, dan Rusia dalam bentuk senjata serta logistik.
Kelemahan mendasar Tripoli adalah lemahnya komando terpusat. Milisi yang beroperasi di bawah bendera GNA lebih loyal pada kepentingan lokal dibandingkan struktur pemerintahan pusat. Hal ini membuat mereka sering berkonflik internal, bahkan sesama kelompok pro-Tripoli.
Sebaliknya, kelemahan LNA terletak pada citra internasional. Meski lebih terorganisir, dunia masih memandang Haftar sebagai sosok kontroversial. Tidak adanya pengakuan resmi membuat hubungan diplomatik mereka terbatas, yang pada gilirannya bisa mempersulit akses teknologi militer lebih canggih.
Meski demikian, banyak analis menilai bahwa LNA memiliki peluang lebih besar untuk menjadi fondasi militer nasional jika Libya suatu saat bersatu kembali. Struktur mereka yang lebih rapi dan disiplin menjadi modal penting dalam membangun angkatan bersenjata reguler.
Tripoli dinilai telah kehilangan momentum. Meski diakui dunia, mereka gagal memanfaatkan status itu untuk memperkuat militer secara berkelanjutan. Kebergantungan pada Turki tidak bisa menutupi kenyataan bahwa GNA tidak mampu menumbuhkan kekuatan domestik yang tangguh.
Industri pertahanan dalam negeri yang mati suri membuat Libya hanya menjadi ajang perebutan pengaruh luar negeri. Baik Tripoli maupun Tobruk tidak mampu menghasilkan senjata sendiri dalam skala signifikan. Akibatnya, pembangunan kekuatan militer Libya masih rapuh.
Dalam perspektif kawasan, Libya sebenarnya memiliki potensi untuk menjadi kekuatan militer penting di Afrika Utara. Sumber daya alam yang melimpah bisa menopang anggaran besar, namun konflik berkepanjangan membuat semua itu terbuang sia-sia.
Kedua pemerintahan di Libya masih terjebak dalam kelemahan yang sama: ketergantungan pada aktor luar negeri. Tanpa rekonsiliasi dan penguatan industri pertahanan domestik, Libya akan tetap menjadi negara dengan kekuatan militer terfragmentasi, bukan pemain dominan di kawasan.
Pertanyaan yang kini muncul adalah apakah salah satu dari kedua pemerintahan ini mampu memanfaatkan momentum untuk melakukan reformasi militer besar-besaran. Jika tidak, harapan agar pemerintahan Tripoli akan semaju Korea Selatan serta pemerintahan Tobruk akan sedisiplin Korea Utara dalam produksi senjata akan sirna dan Libya akan menjadi medan pertempuran abadi kepentingan asing tanpa arah yang jelas.
loading...
Post a Comment