0

Pemerintahan Yaman di Sanaa di belakangan ini mendapat sorotan dunia internasional karena sering meluncurkan rudal jarak jauh hingga 2.000 kilometer yang mampu menjangkau Israel.

Jangkauan itu mengesankan, namun pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah rudal tersebut bisa bertransformasi menjadi roket peluncur satelit atau satellite launch vehicle (SLV). Secara teknis, jawabannya belum, tetapi peluang ke arah itu terbuka jika ditopang dengan teknologi tambahan.

Rudal dengan jangkauan 2.000 kilometer sebenarnya masih berada pada kategori medium-range ballistic missile. Kemampuan semacam ini memungkinkan hulu ledak mencapai target jauh di luar perbatasan Yaman, tetapi belum cukup untuk menempatkan objek ke orbit. Untuk meluncurkan satelit, dibutuhkan kecepatan minimal 7,8 kilometer per detik, jauh di atas kecepatan rudal balistik biasa.

Langkah pertama agar rudal Yaman bisa berfungsi sebagai peluncur satelit adalah penambahan tahap. Rudal balistik umumnya menggunakan satu hingga dua tahap, sedangkan SLV memerlukan tiga bahkan empat tahap. Tahap tambahan berfungsi untuk mendorong muatan terus mempercepat hingga mencapai kecepatan orbit, bukan hanya lintasan parabola sub-orbital.

Selain penambahan tahap, sistem pemandu juga harus ditingkatkan. Rudal hanya butuh presisi pada level kilometer, sedangkan satelit membutuhkan akurasi tinggi agar tidak meleset dari orbit yang dituju. Artinya, diperlukan sistem navigasi inersial yang lebih canggih, sensor tambahan, serta komputer penerbangan dengan kemampuan koreksi real-time.

Struktur roket juga harus diubah agar bisa membawa muatan satelit, bukan hulu ledak militer. Kompartemen khusus diperlukan, lengkap dengan fairing yang mampu melindungi satelit dari gesekan atmosfer saat peluncuran. Perubahan ini menuntut teknologi material yang berbeda dari rudal konvensional.

Sumber daya propelan pun menjadi tantangan. Untuk meluncurkan satelit, roket memerlukan propelan yang lebih efisien, baik berbasis cair maupun padat. Rudal Houthi saat ini kemungkinan besar masih mengandalkan bahan bakar padat sederhana. Agar menjadi SLV, mereka harus menguasai teknologi propelan cair atau padat dengan performa tinggi.

Tidak kalah penting, infrastruktur peluncuran juga harus tersedia. Rudal balistik bisa diluncurkan dari kendaraan mobile atau silo sederhana, sementara roket peluncur satelit membutuhkan platform khusus. Salah satu kemungkinan yang bisa diadopsi adalah pembangunan pangkalan antariksa mobile yang bisa dipindah-pindahkan, baik di daratan maupun di kapal.

Pangkalan antariksa mobile akan memberi keuntungan strategis. Dengan lokasi yang bisa berpindah, peluncuran bisa disesuaikan dengan kebutuhan orbit dan mengurangi risiko serangan musuh. Konsep ini bukan mustahil, karena beberapa negara sudah bereksperimen dengan peluncuran satelit dari kapal atau platform lepas pantai.

Meski demikian, pembangunan fasilitas mobile itu menuntut keahlian teknik yang tinggi. Diperlukan sistem kontrol, infrastruktur komunikasi, dan pusat kendali misi untuk memastikan satelit bisa masuk orbit dengan benar. Semua itu jauh lebih kompleks dibanding sekadar peluncuran rudal balistik.

Sanaa juga membutuhkan satelit percobaan dengan bobot ringan. Roket tahap awal tidak mungkin membawa satelit besar, sehingga fokusnya adalah nanosatelit atau cubesat. Langkah ini akan menjadi batu loncatan sebelum beralih ke muatan lebih besar.

Transfer teknologi juga menjadi faktor kunci. Iran misalnya, sudah pernah mengembangkan roket Safir dan Simorgh dari basis rudal balistik. Jika Sanaa mendapat bantuan serupa, kemungkinan mengembangkan SLV akan lebih terbuka. Tanpa transfer teknologi, peluang itu sangat kecil mengingat kompleksitas yang dibutuhkan.

Dari sisi politik, ambisi semacam ini tentu akan memicu reaksi keras internasional. Dunia akan melihatnya sebagai upaya militerisasi luar angkasa oleh aktor non-negara. Namun, bagi Sanaa, penguasaan teknologi peluncuran satelit akan menjadi simbol prestise dan alat tawar di panggung global.

Langkah menuju SLV juga membutuhkan keahlian sumber daya manusia. Insinyur, teknisi, hingga operator misi harus dilatih untuk menguasai disiplin ilmu aeronautika dan astrodinamika. Infrastruktur pendidikan dan riset menjadi penopang utama, sesuatu yang belum terlihat berkembang di wilayah Yaman saat ini.

Dari sisi ekonomi, biaya pengembangan roket peluncur satelit tidak kecil. Pembuatan tahap tambahan, bahan bakar, hingga fasilitas peluncuran bisa menelan ratusan juta dolar. Dengan kondisi Yaman yang porak-poranda akibat perang, kebutuhan dana ini sulit terpenuhi tanpa dukungan eksternal.

Selain faktor teknis, tantangan besar lainnya adalah keamanan. Pembangunan fasilitas peluncuran bisa menjadi sasaran serangan lawan. Pangkalan mobile memang memberi fleksibilitas, tetapi tetap rentan terhadap pengintaian satelit dan serangan presisi.

Jika semua hambatan itu bisa diatasi, transformasi rudal menjadi roket satelit bukan hal mustahil. Sanaa bisa memulai dari langkah kecil, seperti uji coba peluncuran satelit buatan lokal berukuran kecil dengan roket tiga tahap yang dimodifikasi.

Dampak strategisnya akan sangat besar. Keberhasilan itu akan memberi sinyal bahwa Yaman tidak hanya mampu bertahan sebagai kekuatan militer, tetapi juga menembus sektor teknologi tinggi. Reputasi semacam ini akan mengubah peta kekuatan di Timur Tengah.

Namun, realistisnya, jalan ke sana masih sangat panjang. Rudal dengan jangkauan 2.000 kilometer hanyalah awal. Untuk menjadi SLV sejati, Sanaa harus menempuh lompatan teknologi yang membutuhkan waktu, sumber daya, dan stabilitas yang saat ini belum mereka miliki.

Meski begitu, wacana transformasi rudal menjadi roket satelit tetap relevan. Ia menunjukkan bagaimana teknologi militer bisa menjadi dasar bagi ambisi luar angkasa. Dalam konteks Sanaa, hal ini menambah dimensi baru pada konflik Yaman yang selama ini hanya dipandang dari sisi darat dan laut.

Jika ambisi ini terealisasi, Yaman bukan hanya dikenal sebagai ladang konflik, melainkan juga sebagai negara yang mampu meluncurkan satelit ke orbit. Sebuah skenario yang kini masih jauh, tetapi secara teori tetap berada dalam ranah kemungkinan.

Houthi yang selama ini dikenal sebagai kekuatan militer di Yaman sebenarnya juga bisa mengubah citranya dengan mengadakan perlombaan teknologi satelit dan roket. Kompetisi semacam ini dapat melibatkan universitas-universitas lokal maupun regional untuk merancang satelit kecil atau sistem propulsi sederhana. Langkah ini bukan hanya memperkuat basis teknologi, tetapi juga menjadi sarana mencari talenta baru di bidang aeronautika dan antariksa.

Dengan adanya perlombaan teknologi, mahasiswa dan peneliti muda akan terpacu untuk menghasilkan inovasi yang relevan. Misalnya, pengembangan cubesat untuk keperluan komunikasi, pemantauan cuaca, atau observasi lahan pertanian. Di sisi lain, kompetisi roket mini bisa menjadi ajang pembelajaran praktis mengenai dinamika penerbangan, sistem kendali, dan propulsi. Semua itu secara bertahap membangun ekosistem sains dan teknologi di Yaman.

Selain lomba, Houthi juga bisa menyelenggarakan pameran antariksa tahunan yang menampilkan hasil karya mahasiswa, peneliti, maupun industri kecil. Pameran ini akan menjadi etalase bagi potensi teknologi lokal dan bisa menarik minat investor maupun mitra internasional. Dengan menampilkan keberhasilan kecil, mereka bisa membangun kebanggaan nasional dan optimisme di tengah kondisi konflik.

Kegiatan semacam ini juga akan memperkuat legitimasi politik. Alih-alih hanya dipandang sebagai kelompok bersenjata, Houthi bisa menampilkan diri sebagai penggerak pembangunan ilmu pengetahuan. Universitas-universitas yang terlibat juga akan mendapatkan manfaat berupa peningkatan kapasitas penelitian, sekaligus membangun generasi muda yang lebih terdidik dan inovatif.

Jika dijalankan secara konsisten, kombinasi lomba teknologi, riset kampus, dan pameran antariksa tahunan akan menciptakan kultur baru di Yaman. Dari kultur ini, bukan tidak mungkin lahir insinyur, ilmuwan, dan teknisi yang kelak benar-benar mampu mengembangkan roket atau satelit operasional. Dengan begitu, ambisi Houthi dalam ranah teknologi tinggi tidak lagi hanya wacana, tetapi mulai terlihat jalannya.

Baca selanjutnya



loading...

Post a Comment

 
Top