Stabilitas kamp pengungsian Rohingya di Bangladesh kini berada di ujung tanduk. Dalam beberapa bulan terakhir, kondisi keamanan memburuk, sementara bantuan internasional terus menyusut. Padahal, lebih dari 1,1 juta warga Rohingya menggantungkan hidup mereka pada lingkungan sempit dan tidak manusiawi di kamp-kamp seperti Kutupalong dan Nayapara di wilayah Cox’s Bazar. Ketidakpastian masa depan dan tekanan ekonomi yang makin parah dikhawatirkan memicu gelombang pelarian baru menuju Asia Tenggara, bahkan Australia.
Kamp-kamp yang selama ini dianggap stabil meskipun represif, kini berubah menjadi tempat berbahaya. Ketegangan meningkat akibat bentrok bersenjata antar kelompok militan Rohingya seperti Rohingya Solidarity Organisation (RSO) dan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Gencatan senjata yang sebelumnya dicapai antara kelompok-kelompok tersebut telah runtuh, memperburuk kondisi keamanan internal.
Selain konflik internal, keberhasilan militer kelompok pemberontak Arakan Army (AA) di negara bagian Rakhine, Myanmar, juga berdampak langsung pada situasi kamp di Bangladesh. Sejak AA menguasai sekitar 90 persen wilayah Rakhine, gelombang pengungsian baru terus berdatangan ke Bangladesh, dengan lebih dari 150.000 Rohingya tercatat melintasi perbatasan hanya dalam beberapa bulan terakhir.
Kemenangan AA juga menghentikan sebagian besar arus penyelundupan narkoba dari Myanmar ke Bangladesh, sebuah aktivitas ilegal yang selama ini menjadi sumber penghasilan bagi sebagian warga kamp. Kini, dengan sumber ekonomi yang tertutup, rasa frustrasi dan keputusasaan meningkat tajam di kalangan pengungsi, terutama generasi muda yang tidak diizinkan bekerja ataupun bersekolah.
Dalam kondisi genting ini, rencana pemotongan bantuan pangan internasional menjadi ancaman nyata. Program Pangan Dunia (WFP) yang sebelumnya menyediakan jatah makanan senilai USD 12,50 per bulan per orang terancam dikurangi drastis, setelah Amerika Serikat menarik sebagian dana bantuannya. Para pekerja kemanusiaan meyakini, pemotongan ini akan mendorong banyak pengungsi mengambil risiko meninggalkan kamp secara ilegal demi mencari makan dan pekerjaan.
Pemerintah Bangladesh telah meningkatkan patroli di wilayah pantai dan laut untuk mencegah keberangkatan kapal pengungsi. Namun, keterbatasan sumber daya, kapal yang rusak, dan minimnya teknologi pengawasan membuat penjagaan menjadi tidak efektif. Sejak awal 2024, ratusan kapal kecil telah berhasil lolos, membawa ribuan Rohingya ke perairan Indonesia, Malaysia, dan bahkan Australia.
Kondisi ini diperparah oleh meningkatnya ketertarikan jaringan penyelundupan manusia untuk kembali beroperasi. Dengan bayaran yang mencapai USD 4.000 per orang, perjalanan berbahaya melalui laut bukan hanya menjadi pilihan, tapi semakin terorganisir. Beberapa laporan menyebutkan adanya dukungan logistik dari wilayah Asia Tenggara, bahkan indikasi keterlibatan jaringan di Australia.
Pemerintah Bangladesh menghadapi dilema besar. Di satu sisi, mereka menolak pemukiman permanen para pengungsi dan terus menyerukan repatriasi ke Myanmar. Namun di sisi lain, pemerintahan baru yang terbentuk tahun lalu mulai membuka komunikasi dengan Arakan Army untuk membuka koridor kemanusiaan ke Rakhine. Sayangnya, rencana itu ditolak oleh militer Bangladesh dan oposisi politik dalam negeri.
Sementara itu, keengganan Myanmar untuk menerima kembali pengungsi Rohingya membuat kebijakan repatriasi menjadi jalan buntu. Otoritas Myanmar yang kini kehilangan kendali atas sebagian besar Rakhine tak punya kapasitas ataupun kemauan politik untuk menampung kembali etnis yang selama ini mereka tindas. Harapan akan solusi jangka panjang semakin menipis di tengah kekacauan internal negara itu.
Australia sebagai salah satu mitra strategis Bangladesh mencoba merespons kondisi ini. Dua kesepakatan penting telah ditandatangani: nota kesepahaman tentang keamanan maritim dan prosedur penanganan migrasi ilegal. Namun, efektivitas langkah-langkah ini masih diragukan jika kondisi di kamp terus memburuk dan arus pengungsi meningkat.
Gelombang pelarian baru, jika tak dicegah, bisa membawa implikasi luas bagi kawasan. Negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand kemungkinan kembali menjadi tujuan utama perjalanan laut berbahaya. Kematian di laut yang sebelumnya terjadi akibat kapal karam dan kelaparan bisa kembali terulang jika tidak ada tindakan kolektif internasional.
Lebih jauh lagi, krisis ini memperlihatkan lemahnya solidaritas internasional terhadap tragedi Rohingya. Meskipun banyak negara bersimpati secara diplomatis, bantuan nyata dan solusi politik jangka panjang masih belum terlihat. Kamp-kamp di Bangladesh telah menjadi simbol kemacetan solusi global atas krisis pengungsi modern.
Bangladesh, yang selama ini menanggung beban besar pengungsian, juga berhak mendapatkan perhatian dan dukungan penuh dari komunitas internasional. Tanpa bantuan tambahan dan solusi konkret, negara ini bisa kehilangan kendali atas situasi, mengarah pada bencana kemanusiaan dan keamanan lintas batas yang lebih luas.
Para pengungsi Rohingya saat ini berada dalam situasi tidak menentu. Mereka tidak bisa kembali ke Myanmar, tidak diterima sebagai warga Bangladesh, dan hidup tanpa harapan di kamp-kamp yang makin tidak layak huni. Dalam situasi seperti ini, keputusan nekat untuk melarikan diri melalui laut bukan lagi pilihan terakhir, tetapi satu-satunya jalan keluar yang tersisa.
Akses pendidikan, kebebasan bergerak, dan kesempatan ekonomi yang layak seharusnya menjadi bagian dari hak dasar manusia yang diberikan kepada pengungsi. Membiarkan mereka hidup dalam ketidakpastian hanya akan melanggengkan penderitaan dan menciptakan generasi tanpa masa depan.
Jika dunia gagal bertindak sekarang, krisis Rohingya akan terus memburuk. Arus pelarian baru bisa menjadi awal dari bencana kemanusiaan yang lebih besar di kawasan. Yang dibutuhkan bukan hanya belas kasihan, tapi kepemimpinan dan keberanian politik dari para pemegang kebijakan global.
Waktu tidak berpihak kepada Rohingya. Mereka telah terlalu lama menjadi korban diskriminasi, pengusiran, dan pengabaian. Gelombang pengungsian berikutnya hanya tinggal menunggu badai monsun reda. Dunia harus bertindak sebelum semua terlambat.
Amerika Serikat telah mengajukan proposal penting di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait pemulangan pengungsi Rohingya, yang berpotensi menimbulkan tantangan baru bagi pemerintahan sementara Bangladesh dan Penasihat Keamanan Nasional Khalilur Rahman (Roger Rahman).
Pada 10 Juni, AS mendorong dimulainya dialog yang komprehensif dan inklusif guna menjamin proses pemulangan Rohingya secara aman dan sukarela, serta menyerukan keterlibatan Arakan Army, kelompok pemberontak yang saat ini menguasai wilayah Rakhine di Myanmar. Namun, usulan ini bisa memicu kontroversi lebih lanjut terhadap upaya negosiasi yang selama ini dilakukan pemerintahan sementara Bangladesh pimpinan Dr. Yunus dan penasihat keamanan Khalilur Rahman dengan kelompok bersenjata tersebut di Rakhine.
Dalam konferensi pers yang digelar saat sesi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB, Duta Besar AS Jonathan Schrier menyatakan bahwa partisipasi “semua pihak” sangat penting dalam proses pemulangan Rohingya, terutama mencakup Arakan Army, mengingat kelompok tersebut kini menguasai sebagian besar wilayah Rakhine.
Pernyataan ini muncul di tengah tuduhan pelanggaran HAM yang diarahkan kepada Arakan Army. Para pengamat lokal dan warga pengungsi melaporkan bahwa kelompok tersebut terlibat dalam perekrutan paksa, penindasan, peradilan sewenang-wenang, serta serangan etnis terhadap komunitas minoritas, khususnya Rohingya. Meskipun Arakan Army mengklaim sebagai kekuatan perlawanan terhadap militer Myanmar, kekuasaan yang mereka peroleh belum mampu memberikan perlindungan yang efektif bagi warga sipil.
loading...
Post a Comment