Sudan yang terbelah dalam dua pemerintahan paralel kini menunjukkan babak baru dalam upaya menarik simpati rakyat. Baik pemerintah yang berbasis di Port Sudan di bawah kendali Sudan Armed Forces (SAF) maupun pemerintahan tandingan di Nyala yang dipimpin Rapid Support Forces (RSF), sama-sama mulai meluncurkan program pro-rakyat dengan fokus pada ketahanan pangan.
Langkah ini dianggap sebagai terobosan di tengah perang berkepanjangan sejak April 2023 yang meluluhlantakkan infrastruktur, memutus jalur perdagangan, dan membuat jutaan orang menghadapi ancaman kelaparan. Masing-masing pihak tampaknya menyadari bahwa legitimasi politik tidak bisa hanya dibangun melalui kekuatan senjata, melainkan juga lewat kemampuan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Di wilayah Port Sudan, Menteri Sumber Daya Hewan Ahmed Al-Tijani Mansour mengumumkan rencana ambisius untuk mendirikan sebuah kota besar khusus produksi dan manufaktur hewan di negara bagian Sungai Nil. Kota ini nantinya akan mencakup peternakan sapi, domba, hingga unta, lengkap dengan fasilitas modern untuk pemotongan, pengemasan daging, serta pabrik produk susu.
Proyek tersebut digadang-gadang sebagai tonggak penting untuk mengubah Sudan menjadi pusat produk hewani dunia. Standar internasional akan diterapkan agar daging, susu, dan produk olahan lainnya bisa bersaing di pasar global. Dengan langkah ini, SAF berusaha menunjukkan komitmen pada pemulihan ekonomi sekaligus solusi jangka panjang untuk mengatasi krisis pangan nasional.
Selain sektor peternakan, wilayah yang dikuasai SAF juga memiliki kekuatan besar dalam sumber daya mineral dan energi. Port Sudan sebagai pelabuhan utama menjadi pintu keluar-masuk perdagangan, termasuk ekspor emas, minyak, dan produk pertanian. Jalur perdagangan melalui Laut Merah memberi keuntungan strategis yang bisa dimaksimalkan untuk mendongkrak devisa.
Wilayah timur Sudan di bawah kendali SAF juga kaya dengan hasil pertanian seperti gandum, sorgum, dan kapas. Tanah subur di sekitar Sungai Nil menjadi modal penting untuk mendukung program ketahanan pangan. Jika dikelola optimal, hasil pertanian ini tidak hanya mencukupi kebutuhan domestik, tetapi juga bisa menjadi komoditas ekspor.
Sementara itu, pemerintahan paralel di Nyala yang dikendalikan RSF juga mulai merancang program pro-rakyat dengan memanfaatkan potensi ekonomi lokal. Wilayah Darfur dan Kordofan dikenal kaya dengan peternakan tradisional, terutama unta dan kambing yang menjadi komoditas penting bagi perdagangan lintas perbatasan dengan Chad, Libya, dan Republik Afrika Tengah.
Selain peternakan, kawasan ini juga menyimpan potensi besar di sektor pertambangan. Emas merupakan sumber daya paling bernilai di wilayah Darfur, bahkan menjadi salah satu alasan utama mengapa konflik perebutan wilayah di sana terus berlangsung. RSF telah lama dituding mengendalikan sebagian besar tambang emas, dan kini mencoba mengubahnya menjadi basis ekonomi untuk membiayai program rakyat.
Sumber daya alam lain seperti tanah yang luas dan padang rumput menjadikan wilayah RSF sangat potensial untuk produksi pangan. Dengan memanfaatkan jaringan perdagangan lintas batas, pemerintahan Nyala berpeluang memperkuat ketahanan pangan sekaligus menciptakan sumber pendapatan baru bagi masyarakat lokal.
Langkah kedua pemerintahan ini, meski bersifat kompetitif, dinilai membawa dampak positif bagi rakyat. Rivalitas yang sebelumnya hanya berwujud peperangan kini mulai bergeser ke arah kompetisi dalam menghadirkan kebijakan ekonomi. Bagi rakyat Sudan, ini membuka harapan baru bahwa kebutuhan dasar mereka akan lebih diperhatikan.
Namun, tantangan tetap besar. Infrastruktur yang rusak, jalur distribusi yang sering terputus karena pertempuran, serta sanksi internasional masih menjadi hambatan utama. Meski begitu, inisiatif yang mulai digulirkan memberi sinyal bahwa Sudan perlahan bergerak ke arah stabilisasi berbasis kebutuhan rakyat.
Analis menilai, jika program pro-rakyat ini konsisten dijalankan, maka Sudan berpotensi mengubah wajah konflik menjadi arena kompetisi pembangunan. Model ini meski tidak ideal, bisa mengurangi ketergantungan rakyat pada bantuan luar negeri sekaligus memperkuat legitimasi domestik masing-masing pemerintahan.
Kehadiran dua pemerintahan juga secara tidak langsung memberi ruang lebih besar bagi keterlibatan masyarakat lokal. Petani, peternak, dan pengusaha kecil kini menjadi bagian dari strategi politik untuk memperkuat basis dukungan. Dengan demikian, konflik yang selama ini hanya dimaknai dalam kerangka militer, kini melibatkan dimensi sosial-ekonomi.
Ke depan, SAF diperkirakan akan terus memaksimalkan potensi pelabuhan, perdagangan internasional, serta hasil pertanian Sungai Nil. Sementara RSF akan mengandalkan emas, peternakan tradisional, serta perdagangan lintas perbatasan untuk menopang pemerintahan di wilayahnya.
Jika dikelola dengan strategi yang benar, kedua wilayah bisa menghasilkan model pembangunan yang saling bersaing tetapi juga saling melengkapi. Meski berseberangan secara politik, Sudan tetap satu tanah air yang memiliki kepentingan sama untuk keluar dari jerat kelaparan dan kemiskinan.
Program pro-rakyat yang mulai dijalankan membuka peluang terjadinya rekonsiliasi di masa depan. Jika masyarakat melihat manfaat nyata dari pembangunan, tekanan publik untuk mengakhiri konflik bersenjata bisa semakin kuat. Inilah titik awal bagi Sudan untuk menata ulang arah perjalanan politiknya.
Walau jalan menuju perdamaian masih panjang, langkah kedua pemerintahan paralel ini menjadi bukti bahwa Sudan tidak sepenuhnya terjebak dalam kegelapan. Ada upaya nyata untuk memprioritaskan rakyat, sekalipun melalui kompetisi yang keras.
Di balik rivalitas, rakyat Sudan kini berharap bahwa program pangan dan pembangunan ekonomi tidak hanya menjadi alat propaganda politik, melainkan benar-benar solusi untuk kehidupan yang lebih baik.
Dari Port Sudan hingga Nyala, dari Sungai Nil hingga gurun Darfur, Sudan kini berada di persimpangan jalan. Jika kedua pemerintahan mampu memaksimalkan sumber daya alamnya dengan bijak, maka masa depan negara itu bisa jauh lebih cerah dibanding hari ini.
loading...
Post a Comment