Ada yang terasa janggal dalam konferensi pers Menteri Luar Negeri Suriah, Asaad Hassan al-Shaibani, saat ia menjabarkan peta jalan pemerintah terkait penanganan krisis di Suwaida. Dalam pernyataannya, al-Shaibani terlihat terlalu jauh masuk ke ranah keamanan dalam negeri yang sejatinya bukan bagian dari kewenangannya.
Sebagai kepala diplomasi, seorang menteri luar negeri seharusnya fokus pada aspek politik luar negeri, hubungan internasional, serta dukungan diplomatik dari negara mitra. Namun al-Shaibani justru berbicara panjang lebar soal distribusi pasukan kepolisian, pengelolaan keamanan jalan raya, hingga penyelesaian kasus kriminal.
Langkah itu menimbulkan pertanyaan mengenai pembagian peran di tubuh pemerintahan Suriah. Bukankah urusan keamanan dalam negeri adalah domain Kementerian Dalam Negeri? Jika demikian, pernyataan al-Shaibani tampak tumpang tindih, bahkan berpotensi melemahkan otoritas instansi yang seharusnya lebih berkompeten.
Idealnya, dalam forum internasional seperti konferensi pers bersama Menlu Yordania dan utusan khusus AS, al-Shaibani cukup menekankan keyakinan penuh pemerintah terhadap aparat dalam negeri untuk menegakkan keamanan. Kalimat seperti “pemerintah mempercayakan sepenuhnya kepada kementerian terkait” akan jauh lebih tepat dibanding masuk ke detail teknis.
Apalagi, publik dan komunitas internasional mengamati sikap pejabat tinggi Suriah dengan cermat. Setiap penyampaian yang keliru dapat ditafsirkan sebagai kelemahan koordinasi internal. Hal ini tentu tidak menguntungkan, terutama ketika Suriah tengah berupaya menunjukkan persatuan dalam menghadapi tekanan eksternal.
Seorang menlu idealnya menampilkan peran sebagai jembatan komunikasi internasional. Ia bisa menekankan bahwa krisis Suwaida adalah masalah domestik yang ditangani serius oleh aparat dalam negeri, sementara dirinya memastikan dukungan diplomatik dari mitra regional maupun global.
Sayangnya, al-Shaibani justru terdengar seolah berbicara sebagai orang luar yang menilai kasus Suwaida dari kejauhan. Ia menggunakan bahasa yang lebih mirip narasi lembaga kemanusiaan ketimbang representasi pemerintah yang berdaulat penuh atas aparatnya sendiri.
Dalam kacamata politik, gaya penyampaian semacam itu bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak asing untuk menekan Suriah. Ketika seorang menlu sendiri membicarakan teknis keamanan, hal itu bisa ditafsirkan sebagai pengakuan tidak langsung bahwa kementerian dalam negeri kurang mampu.
Padahal, Suriah sudah lama menegaskan kedaulatan penuh atas seluruh wilayahnya. Mengaburkan batas peran antar kementerian hanya akan menambah keraguan publik dalam dan luar negeri.
Yang lebih tepat, al-Shaibani seharusnya menekankan bahwa pemerintah Suriah memegang kendali penuh, dengan kementerian terkait bekerja secara profesional dan sesuai tugasnya. Sementara itu, Kementerian Luar Negeri memastikan segala upaya rekonstruksi dan rekonsiliasi mendapat dukungan dari negara sahabat.
Dengan sikap seperti itu, Suriah bisa menunjukkan wajah pemerintahan yang solid. Pesan utama kepada dunia internasional pun menjadi jelas: bahwa krisis Suwaida bukanlah celah bagi intervensi asing, melainkan tantangan domestik yang bisa diatasi dengan kapasitas internal.
Sayangnya, pernyataan al-Shaibani di podium justru lebih menekankan detail operasional. Ia bahkan menyinggung soal pemulihan desa, pengamanan jalan, hingga proses pembebasan tahanan—isu yang secara struktur pemerintahan bukanlah tanggung jawabnya.
Kondisi ini membuka ruang kritik bahwa kementerian luar negeri “terlalu jauh campur tangan” dalam ranah kementerian dalam negeri. Jika tidak dikoreksi, kebiasaan seperti ini bisa menimbulkan friksi birokrasi dan ketidakefektifan kebijakan.
Lebih buruk lagi, gaya itu bisa mengesankan bahwa pemerintah Suriah memandang krisis Suwaida dari luar, bukan dari dalam tubuh institusi negara yang seharusnya solid. Hal ini tentu berlawanan dengan pesan persatuan yang ingin ditonjolkan.
Dalam konteks diplomasi, menlu cukup menegaskan bahwa Suriah menolak segala bentuk intervensi asing, menghargai dukungan mitra internasional, namun tetap percaya penuh pada aparat keamanan domestik untuk menyelesaikan masalah di lapangan.
Sikap ini tidak hanya menjaga hierarki pemerintahan tetap jelas, tetapi juga menunjukkan kepercayaan diri negara. Suriah bisa tampil lebih tegas: diplomasi diurus kementerian luar negeri, keamanan ditangani kementerian dalam negeri.
Jika pesan seperti ini yang disampaikan, maka publik internasional akan melihat Suriah sebagai negara yang solid, sementara rakyat di dalam negeri akan merasa bahwa institusi mereka berjalan sesuai tugasnya masing-masing.
Dalam situasi genting seperti di Suwaida, kejelasan peran pejabat negara sangat krusial. Satu kata yang keliru bisa menimbulkan interpretasi negatif.
Karena itu, kritik terhadap pernyataan al-Shaibani bukan sekadar formalitas birokrasi, melainkan soal konsistensi negara dalam menjaga kewibawaan dan otoritasnya di mata dunia.
Pada akhirnya, krisis Suwaida seharusnya menjadi ajang bagi pemerintah Suriah menunjukkan kohesi internal, bukan justru menampilkan kebingungan peran di hadapan dunia. Menlu al-Shaibani perlu mengingat kembali batas kewenangannya agar diplomasi Suriah tetap kuat dan konsisten.
loading...
Post a Comment