Keputusan Pemerintah Puntland untuk meluncurkan mata uang sendiri pada tahun 2025 menandai langkah berani di tengah ketidakpastian sistem moneter Somalia. Langkah ini muncul setelah bertahun-tahun frustrasi atas lambannya upaya pemerintah pusat Somalia dalam membentuk kembali sistem keuangan nasional yang stabil sejak keruntuhan negara pada awal 1990-an. Bagi Puntland, sebuah negara bagian semi-otonom di timur laut Somalia, menciptakan mata uang lokal dianggap sebagai solusi pragmatis dalam menghadapi stagnasi moneter yang berkepanjangan.
Presiden Puntland, Said Abdullahi Deni, menekankan bahwa langkah ini bukan bentuk pemisahan dari Somalia, melainkan upaya untuk menyelamatkan kestabilan ekonomi wilayahnya. Menurut Deni, banyak negara federal di dunia yang berhasil mengelola dua mata uang tanpa harus kehilangan identitas nasional. Ia menyatakan bahwa jika nanti sistem keuangan Somalia sudah pulih dan nasionalisasi mata uang tercapai, Puntland siap menyelaraskan diri kembali.
Namun niat membentuk mata uang sendiri tentu tidak lepas dari konsekuensi serius. Di satu sisi, keuntungan besar terletak pada kendali fiskal yang lebih besar. Puntland dapat merancang kebijakan moneter yang sesuai dengan kondisi ekonominya sendiri, termasuk mengatur suku bunga, mengelola inflasi, dan menyesuaikan jumlah uang beredar. Hal ini akan memungkinkan wilayah tersebut membangun stabilitas lokal di tengah kekacauan finansial nasional.
Kebijakan ini juga bisa memperkuat kepercayaan publik terhadap institusi lokal. Di tengah lemahnya peran Bank Sentral Somalia, banyak warga merasa lebih percaya pada sistem ekonomi yang dikelola secara lokal. Mata uang baru dapat menjadi simbol kemandirian administratif, sekaligus alat untuk mempercepat perdagangan domestik dan regional.
Di sisi lain, risiko besar membayangi langkah tersebut. Salah satunya adalah potensi inflasi tinggi jika penerbitan uang tidak disertai dengan cadangan nilai atau pengawasan ketat. Dalam sejarah negara-negara berkembang, peluncuran mata uang baru sering kali memicu ketidakpastian nilai tukar dan hilangnya kepercayaan masyarakat jika tidak dikelola dengan profesional.
Keraguan juga muncul dari ketergantungan masyarakat Somalia, termasuk di Puntland, pada dolar AS dan sistem uang elektronik. Saat ini, sebagian besar transaksi di wilayah itu berlangsung melalui mobile money berbasis dolar. Memperkenalkan mata uang baru dapat menimbulkan kebingungan dan disrupsi terhadap sistem pembayaran yang sudah mapan.
Tantangan lainnya adalah logistik dan biaya produksi mata uang. Mulai dari desain, pencetakan, hingga distribusi mata uang fisik membutuhkan dana besar dan sistem keamanan yang ketat. Jika tidak diawasi dengan baik, risiko pemalsuan atau penyalahgunaan bisa mengancam kredibilitas mata uang baru tersebut sejak awal.
Dampak dari langkah ini terhadap hubungan Puntland dengan pemerintah pusat Somalia juga menjadi perhatian. Meski Presiden Deni menyatakan dukungannya terhadap kesatuan nasional, kenyataan bahwa satu wilayah punya mata uang sendiri bisa memunculkan persepsi separatisme dan memperburuk fragmentasi dalam struktur negara Somalia yang sudah rapuh.
Namun demikian, realitas politik dan ekonomi Somalia tidak bisa diabaikan. Ketidakefisienan pemerintah pusat, minimnya institusi keuangan nasional yang berfungsi, serta tekanan terhadap stabilitas harga membuat banyak pihak di Puntland merasa bahwa menunggu reformasi nasional adalah pilihan yang terlalu mahal dan berisiko tinggi.
Mata uang lokal juga dapat membuka jalan bagi integrasi ekonomi regional. Puntland, yang memiliki pelabuhan aktif dan kedekatan geografis dengan Yaman dan Djibouti, bisa menjajaki kerja sama dagang bilateral lebih luas. Jika stabil, mata uangnya bisa digunakan dalam transaksi lintas batas, memperkuat posisi ekonominya di kawasan Tanduk Afrika.
Meski demikian, keberhasilan langkah ini sangat bergantung pada tata kelola ekonomi internal. Pemerintah Puntland harus membangun sistem bank lokal yang transparan, menciptakan kepercayaan publik, dan memastikan bahwa mata uang baru tidak digunakan untuk pembiayaan defisit fiskal tanpa kendali yang justru berisiko menghancurkan nilai tukar.
Masalah lain yang harus diantisipasi adalah dualisme sistem keuangan di masyarakat. Jika mata uang lokal diperkenalkan tetapi sebagian besar penduduk tetap menggunakan dolar, maka akan terjadi segregasi ekonomi yang memperlemah efektivitas kebijakan moneter. Dibutuhkan kampanye edukasi besar-besaran dan insentif nyata untuk mendorong penggunaan mata uang sendiri.
Selain itu, penting untuk memastikan bahwa mata uang baru tidak menghambat bantuan internasional atau kerja sama dengan lembaga keuangan luar negeri. Lembaga-lembaga donor, yang selama ini beroperasi dalam mata uang asing, mungkin akan membutuhkan waktu dan mekanisme baru untuk menyesuaikan diri dengan sistem moneter Puntland yang baru.
Pengalaman negara-negara lain menunjukkan bahwa peluncuran mata uang lokal bisa sukses bila didasarkan pada kebutuhan nyata dan kesiapan sistem. Zimbabwe, Sudan Selatan, dan Kosovo pernah melakukannya, dengan hasil yang bervariasi tergantung pada manajemen ekonomi dan kepercayaan publik.
Langkah Puntland ini sekaligus menjadi tekanan tidak langsung bagi pemerintah pusat Somalia untuk mempercepat reformasi moneter nasional. Jika wilayah-wilayah lain melihat keberhasilan inisiatif Puntland, bisa saja muncul gerakan serupa di wilayah semi-otonom lainnya, mempercepat disintegrasi ekonomi nasional yang lebih besar.
Namun di sisi optimis, jika dikelola hati-hati dan transparan, mata uang Puntland bisa menjadi eksperimen kebijakan yang sukses dan bahkan menjadi prototipe untuk mata uang Somalia yang lebih kuat di masa depan. Dengan kata lain, keputusan ini bukan akhir dari persatuan Somalia, melainkan awal dari revitalisasi struktur fiskalnya.
Situasi Somalia yang kompleks menuntut solusi yang tidak konvensional. Dalam kerangka itu, rencana Puntland bisa dilihat bukan sebagai upaya memisahkan diri, melainkan cara pragmatis untuk bertahan dan berkembang dalam sistem yang belum stabil. Yang menjadi kunci adalah komunikasi yang terbuka dan koordinasi yang berkelanjutan dengan pemerintah pusat.
Tahun 2025 akan menjadi titik penting yang menentukan apakah eksperimen moneter ini membawa stabilitas ekonomi atau justru menciptakan persoalan baru. Dunia internasional dan warga Somalia akan menilai, apakah Puntland berhasil membuktikan bahwa desentralisasi fiskal bisa menjadi jalan keluar dari kemacetan nasional.
loading...
Post a Comment