Krisis politik yang melanda Yaman memasuki fase paling serius sejak pembentukan Dewan Pimpinan Kepresidenan (PLC), setelah Ketua Dewan sekaligus Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Yaman, Rashad al-Alimi, mengambil langkah drastis yang mengguncang fondasi koalisi regional. Pada akhir Desember 2025, Al-Alimi mengumumkan keputusan yang menandai eskalasi terbuka konflik internal di kubu anti-Houthi, sekaligus membuka konfrontasi langsung dengan Uni Emirat Arab.
Dalam keputusan resmi yang diumumkan dari Dubai dan dikutip media internasional, Al-Alimi secara sepihak membatalkan perjanjian pertahanan bersama antara Yaman dan Uni Emirat Arab. Ia juga memerintahkan seluruh pasukan dan personel Emirat untuk meninggalkan wilayah Yaman dalam waktu 24 jam, sebuah langkah yang belum pernah terjadi sejak dimulainya intervensi koalisi pada 2015.
Keputusan ini dikeluarkan hanya beberapa jam setelah koalisi pendukung legitimasi Yaman yang dipimpin Arab Saudi mengumumkan pelaksanaan operasi militer terbatas di Pelabuhan Mukalla. Operasi tersebut menargetkan senjata dan kendaraan tempur yang dilaporkan baru saja diturunkan dari dua kapal yang tiba dari Pelabuhan Fujairah, Uni Emirat Arab, tanpa izin resmi dari Komando Gabungan Koalisi.
Menurut pernyataan juru bicara koalisi, kedua kapal tersebut tidak hanya memasuki perairan Yaman tanpa koordinasi, tetapi juga mematikan sistem pelacakan otomatis mereka sebelum membongkar muatan. Senjata dan rantis yang diturunkan disebut secara khusus ditujukan untuk mendukung pasukan Dewan Transisi Selatan di wilayah Hadramaut dan Al-Mahrah, yang dinilai berpotensi memicu konflik bersenjata baru di kawasan timur Yaman.
Dalam naskah keputusan yang dipublikasikan kantor berita resmi Yaman, Al-Alimi menegaskan bahwa langkah tersebut diambil demi menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, serta keselamatan warga sipil. Ia merujuk langsung pada konstitusi, inisiatif Teluk, serta mandat hukum pembentukan Dewan Kepresidenan sebagai dasar legal pembatalan kerja sama pertahanan dengan Abu Dhabi.
Selain mengusir pasukan Emirat, Al-Alimi juga memerintahkan pasukan Dar’ al-Watan untuk segera bergerak dan mengambil alih seluruh kamp militer di Hadramaut dan Al-Mahrah. Instruksi ini secara langsung menantang keberadaan dan pengaruh Dewan Transisi Selatan yang selama ini menguasai wilayah tersebut dengan dukungan politik dan militer dari Uni Emirat Arab.
Pidato dan keputusan Al-Alimi langsung memicu gelombang penolakan keras dari empat anggota kunci Dewan Kepresidenan, yakni Aidarus al-Zoubaidi, Abdulrahman al-Mahrami, Faraj al-Bahsani, dan Tareq Saleh. Mereka menilai ketua dewan telah melampaui kewenangannya dengan mengambil keputusan strategis tanpa konsensus kolektif.
Kelompok ini menyebut langkah Al-Alimi sebagai tindakan sepihak yang berpotensi menghancurkan aliansi regional dan melemahkan front melawan Houthi. Mereka menegaskan bahwa peran Uni Emirat Arab merupakan hasil kesepakatan tingkat tinggi dan tidak dapat dibatalkan hanya melalui keputusan individual, terlebih di tengah perang yang belum berakhir.
Dari pihak Selatan, pernyataan keras juga datang dari pimpinan Dewan Transisi Selatan di Hadramaut. Mohamed Abdel Malik al-Zubaidi menyatakan bahwa pasukan Selatan tidak melakukan pemberontakan, melainkan menjalankan tugas menjaga stabilitas dari ancaman terorisme dan infiltrasi kelompok bersenjata lain. Ia menuding pemerintah pusat justru mempolitisasi isu keamanan untuk menekan aspirasi Selatan.
Al-Zubaidi juga menolak keras tudingan bahwa senjata yang masuk ke Mukalla bertujuan memicu konflik. Menurutnya, bantuan keamanan tersebut diperlukan untuk melindungi jalur pesisir strategis yang selama ini diabaikan oleh pemerintah pusat. Ia bahkan menuduh Al-Alimi sengaja mendorong Arab Saudi ke posisi konfrontatif dengan rakyat selatan.
Di sisi lain, Al-Alimi menegaskan bahwa tidak ada negara, termasuk sekutu lama, yang boleh mengirim pasukan atau persenjataan ke Yaman tanpa persetujuan resmi negara. Ia memuji peran Arab Saudi yang dinilainya tetap konsisten menjaga persatuan Yaman dan mematuhi kerangka hukum internasional, termasuk resolusi Dewan Keamanan PBB 2216.
Langkah pembatalan perjanjian pertahanan ini segera ditafsirkan sebagai deklarasi politik terhadap Uni Emirat Arab. Bagi kelompok pro-Selatan, tindakan tersebut dianggap sebagai upaya sistematis mengisolasi Dewan Transisi Selatan dan menghapus pengaruh mereka dari persamaan politik masa depan Yaman.
Ketegangan pun merembet ke jalanan. Di sejumlah kota di Yaman Selatan, laporan menyebutkan munculnya aksi massa yang menolak kontra yang mendukung kepemimpinan Al-Alimi. Ada pula yang menuding pemerintah pusat kehilangan legitimasi. Isu lama mengenai absennya Al-Alimi dari dalam negeri kembali diangkat sebagai senjata politik oleh lawan-lawannya.
Komunitas internasional mulai menunjukkan kekhawatiran serius, mengingat Mukalla dan pesisir timur Yaman berada di jalur pelayaran global yang sangat vital. Pecahnya koalisi anti-Houthi berpotensi membuka celah bagi penyelundupan senjata, perluasan konflik, dan melemahnya keamanan Laut Arab.
Pemerintah Al-Alimi menyatakan telah membentuk tim investigasi khusus untuk menyelidiki jalur masuk senjata dari Fujairah serta peran aktor negara maupun non-negara dalam operasi tersebut. Opsi membawa kasus ini ke forum internasional disebut sedang dipertimbangkan jika ditemukan bukti pelanggaran kedaulatan.
Sementara itu, faksi-faksi Selatan bersiap menghadapi skenario terburuk. Mereka menegaskan tidak akan menyerahkan wilayah dan pangkalan strategis begitu saja, serta menganggap ultimatum 24 jam sebagai ancaman langsung terhadap eksistensi politik dan militer mereka.
Krisis ini memperlihatkan kegagalan model kepemimpinan kolektif Dewan Kepresidenan yang sejak awal dibangun dengan kompromi rapuh. Ketika ancaman eksternal belum selesai, perpecahan internal justru mencapai titik paling berbahaya sejak perang dimulai.
Para pengamat menilai akar krisis terletak pada perebutan kontrol atas Hadramaut dan Mahra, wilayah kaya sumber daya dan kunci ekonomi Yaman pascaperang. Siapa pun yang menguasainya akan memiliki posisi tawar dominan dalam perundingan politik masa depan.
Dalam pidato penutupnya, Al-Alimi mengajak seluruh pihak kembali pada Kesepakatan Riyadh dan dialog politik. Namun, ajakan itu disambut dingin oleh faksi Selatan yang merasa janji-janji lama tidak pernah benar-benar ditepati.
Sejarah Yaman kembali menunjukkan betapa sulitnya menyatukan kepentingan regional, faksi lokal, dan pengaruh negara tetangga dalam satu kerangka negara. Keputusan Al-Alimi di akhir 2025 ini menjadi ujian terberat bagi kelangsungan pemerintahan yang diakui internasional.
Jika konflik ini gagal dikelola, dampaknya tidak hanya menghancurkan struktur negara Yaman, tetapi juga membuka peluang emas bagi Houthi untuk memperluas pengaruhnya. Perpecahan internal kubu anti-Houthi kini menjadi ancaman strategis terbesar.
Di tengah tarik-menarik kepentingan ini, jutaan rakyat Yaman kembali menjadi pihak yang paling dirugikan. Masa depan negara kini bergantung pada apakah para pemimpinnya mampu menahan ambisi masing-masing sebelum Yaman kembali terjerumus ke jurang kehancuran yang lebih dalam.
loading...
Post a Comment